DINASTI ISLAM PADA MASA DAN SESUDAH DINASTI ABBASIYAH
Dinasti Fathimiyah
Dinasti Fatimiah merupakan sebuah dinasti yang didirikan
di benua Afrika pada penghujung tahun 200 an Hijriah atau sekitar tahun 910
Masehi, dinasti ini berpahaman syiah, dari permulaan pembentukannya dinasti ini
bertujuan untuk menjalankan ideologi syiah dan ingin melepaskan diri dari
kekuasaan Daulah Abbasiah di Baghdad yang berideologi Sunnah.
Fatimiyah, atau al-Fāthimiyyūn
(bahasa Arab الفاطميون) ialah penguasa Syiah yang berkuasa di
berbagai wilayah di Maghreb, Mesir, dan Syam dari 5 Januari 910 hingga 1171. Negeri ini dikuasai
oleh Ismailiyah, salah satu cabang Syi'ah. Pemimpinnya juga
para imam Syiah, jadi mereka
memiliki kepentingan keagamaan terhadap Isma'iliyyun. Kadang dinasti ini
disebut pula dengan Bani Ubaidillah, sesuai dengan nama pendiri dinasti ini.
Fatimiyah
didirikan pada 909 oleh ˤAbdullāh al-Mahdī Billa, yang melegitimasi klaimnya melalui keturunan dari Nabi Muhammad dari jalur Fāthimah az-Zahra dan suaminya ˤAlī
ibn-Abī-Tālib, {Imām Shīˤa pertama.
Oleh karena itu negeri ini bernama al-Fātimiyyūn
"Fatimiyah".Dengan cepat kendali Abdullāh al-Mahdi meluas ke seluruh Maghreb, wilayah
yang kini adalah Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya, yang diperintahnya dari Mahdia, ibukota yang dibangun di Tunisia.
Para Imam Dinasti
fathimiyah :
4. Abū Tamīm
Ma'add al-Mu'izz li-Dīn Allāh (953-975) Mesir ditaklukkan masa
pemerintahannya
10. al-Āmir bi-Aḥkām Allāh (1101-1130) Penguasa Fatimiyah
di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
Fatimiyah memasuki Mesir pada 972, menaklukkan dinasti Ikhshidiyah dan
mendirikan ibukota baru di al-Qāhirat "Sang Penunduk" (Kairo modern)- rujukan
pada munculnya planet Mars. Mereka
terus menaklukkan wilayah sekitarnya hingga mereka berkuasa dari Tunisia ke Suriah dan malahan
menyeberang ke Sisilia dan Italia selatan.
Tak
seperti pemerintahan di sama, kemajuan Fatimiyah dalam administrasi negara
lebih berdasarkan pada kecakapan daripada keturunan. Anggota cabang lain dalam Islām, seperti Sunni, sepertinya diangkat
ke kedudukan pemerintahan sebagaimana Syi'ah. Toleransi dikembangkan kepada
non-Muslim seperti orang-orang Kristen dan Yahudi, yang mendapatkan
kedudukan tinggi dalam pemerintahan dengan berdasarkan pada kemampuan (pengecualian pada
sikap umum toleransi ini termasuk "Mad Caliph" Al-Hakim bi-Amrillah).
Kondisi politik dunia Islam ketika Dinasti Fatimiah
didirikan agak sedikit tidak terkendali, hal ini bisa di lihat dengan munculnya
banyak dinasti-dinasti kecil di berbagai belahan dunia baik di timur dan barat
Baghdad.
Di barat Baghdad ada, Dinasti Idrisi di Maroko (172-375 H
/ 788 M-985 M), Dinasti Aghlabi (184 H-296 H / 800 M-908 M), Dinasti Thulun di
Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M), Dinasti Ikhsyidi (323 H- 357 H / 934 M-967
M), Dinasti Hamdaniah (317 H – 399 H / 929 M – 1009 M).
Di timur Baghdad diantaranya: Dinasti Tahiri (200 H-259 H
/ 820 M-872 M), Dinasti Safari (254 H-289 H / 867 M-903 M), Dinasti Samani (261
H-389 H / 874 M-999 M), dan Dinasti Ghazwani.
Pada 1040-an, Ziriyah (gubernur Afrika Utara di masa Fatimiyah)
mendeklarasikan kemerdekaannya dari Fatimiyah dan berpindahnya mereka ke Islām
Sunnī, yang menimbulkan serangan Banū Hilal yang menghancurkan. Setelah 1070, Fatimiyah
mengendalikan pesisir Syam dan bagian Suriah terkena serangan bangsa Turki, kemudian Pasukan Salib, sehingga wilayah Fatimiyah menyempit sampai hanya
meliputi Mesir.
Setelah
terjadi pembusukan sistem politik Fatimiyah pada 1160-an, penguasa
Zengid Nūr ad-Dīn memerintahkan jenderalnya, Salahuddin Ayyubi, menaklukkan Mesir pada 1169, membentuk Dinasti
Ayyubi Sunni
DINASTI AYYUBIYAH
Ayubiyyah atau Dinasti
Ayubiyyah adalah dinasti Muslim
dari bangsa Kurdi[1]
yang menguasai Mesir,
Suriah, Yaman (kecuali Pegunungan
Utara), Diyar Bakr,
Makkah,
Hijaz dan Irak utara pada abad ke-12
dan 13. Ayubiyyah juga dikenali sebagai Ayyubid, Ayoubites, Ayyoubites,
Ayoubides atau Ayyoubides.
Dinasti Ayubiyyah didirikan
oleh Salahuddin Al-Ayubbi yang bersama Shirkuh menaklukan Mesir
untuk Raja Zengiyyah Nuruddin
dari Damaskus pada 1169. Nama ini berasal dari ayah Salahuddin, Najm ad-Din Ayyub. Pada
tahun 1171, Salahuddin
menggulingkan Khalifah Fatimiyyah terakhir.
Ketika Nur
ad-Din meninggal pada 1174,
Salahuddin menyatakan perang terhadap anak lelaki muda Nuruddin, As-Salih Ismail, dan
menguasai Damaskus. Ismail melarikan diri ke Aleppo, dimana ia terus berjuang melawan Salahuddin hingga
terbunuh pada 1181. Setelah
itu, Salahuddin mengambil alih kawasan pedalaman hingga seluruh Suriah, dan
menakluki Jazirah di Irak Utara. Pencapaian terbesarnya adalah mengalahkan tentara salib dalam Pertempuran Hattin dan
penaklukan Baitulmuqaddis pada 1187.
Salahuddin meninggal pada 1193 setelah
menandatangani perjanjian dengan Richard I dari Inggris
yang memberi kawasan pesisir dari Ashkelon hingga Antiokhia kepada tentara salib.
Setelah
kematian Salahuddin, anak lelakinya berebut pembagian kekaisaran, hingga pada
1200 adik Salahuddin, Al-Adil, berhasilmengambil alih atas seluruh kekaisaran. Proses
yang sama terjadi pada kematian Al-Adil pada 1218, dan pada anak lelakinya Al-Kamil yang meninggal pada 1238, tetapi Ayubiyyah tetap kuat.
Pada 1250 Turanshah, Sultan
Mesir Ayubiyyah terakhir, telah dibunuh dan digantikkan oleh jenderal-budak Mamluknya Aibek, yang mendirikan Dinasti Bahri.
Ayyubiyyah
terus menguasai Damaskus dan Aleppo hingga tahun 1260 ketika mereka dikuasai
oleh Mongol dan setelah kekalahan
mongol di Ain Jalut, seluruh Suriah jatuh ke Mamluk.
DINASTI BUWAIHIYAH
Dinasti
Buwayhiyah dirujuk kepada keturunan Abu Syuja' Buwaih dari
daerah Dailam atau disebut juga dengan Bani Buwaih, dimana
keturunannya mampu mengendalikan kekuasaan dan sangat berpengaruh pada suatu
masa dalam rentang kekuasaan Khilafah Abbasiyah di Bagdad yaitu pada tahun
934–1055 M.
Latar Belakang
Berawal
dari tiga orang putera Abu Syuja' Buwaih, seorang pencari ikan yang tinggal di
daerah Dailam, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk keluar
dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinas militer yang ketika
itu dipandang banyak mendatangkan rezeki.
Pada
mulanya mereka bergabung dengan pasukan Makan
Ibn Kali, salah seorang
panglima perang Khilafah Abbasiyah dari Dailam. Setelah pamor Makan
Ibn Kali memudar, mereka
kemudian bergabung dengan panglima Mardawij Ibn Zayyar al-Dailamy. Karena prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi
gubernur al-Karaj, dan dua saudaranya diberi kedudukan penting lainnya.
Dari al-Karaj itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaih bermula.
Pertama-tama
Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal,
Bani Buwaih yang bermarkas di Syiraz itu berhasil menaklukkan beberapa daerah lain seperti Rayy, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah
Abbasiyah, al-Radhi Billah dan
mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil mendapatkan
legalitas itu. Kemudian ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith.
Perebutan Kekuasaan
Ketika
pusat pemerintahan di Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat perebutan
jabatan Amir al-Umara antara wazir dan pemimpin militer. Para pemimpin militer
meminta bantuan kepada Ahmad Ibn Buwaih yang
berkedudukan di Ahwaz. Permintaan itu dikabulkan. Ahmad dan pasukannya tiba di
Baghdad
pada tanggal Jumadil-ula 334 H/945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan
langsung diangkat menjadi Amirul-Umara, penguasa politik negara, dengan gelar Mu'izz
al-Daulah. Saudaranya, Ali
Ibn Buwaih, yang memerintah di
bagian selatan Persia dengan pusatnya di Syiraz diberikan gelar Imad al-Daulah, dan Hasan Ibn Buwaih yang
memerintah di bagian utara, Isfahan dan Rayy, dianugerahi gelar Rukn al-Daulah.
Sejak itu,
sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki sebelumnya, para
khalifah tunduk kepada Bani Buwaih. Pada masa pemerintahan Bani Buwaih ini,
para khalifah Abbasiyah benar-benar tinggal namanya saja. Pelaksanaan
pemerintahan sepenuhnya berada di tangan amir-amir Bani Buwaih. Keadaan
khalifah lebih buruk daripada masa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah
penganut aliran Syi'ah, sementara Bani Abbas adalah Sunni. Selama masa
kekuasaan Bani Buwaih sering terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlussunnah dan Syi'ah, pemberontakan tentara,
dan sebagainya.
Setelah Baghdad dikuasai,
Bani Buwaih memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah kota dengan
nama Dar al-Mamlakah. Meskipun
demikian, kendali politik yang sebenarnya masih berada di Syiraz, tempat Ali
Ibn Buwaih (saudara tertua)
bertahta. Dengan kekuatan militer Bani Buwaih, beberapa dinasti kecil yang
sebelumnya memerdekakan diri dari Baghdad, seperti Bani Hamdan di wilayah Syria dan Irak, Dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah, dapat dikendalikan kembali dari Baghdad.
Sebagaimana
para khalifah Abbasiyah periode pertama, para penguasa dari Bani Buwaih
mencurahkan perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan
ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa Bani Buwaih ini banyak
bermunculan ilmuwan besar, di antaranya al-Farabi (w. 950
M), Ibn Sina (980-1037 M), al-Farghani, Abdurrahman al-Shufi
(w. 986 M), Ibn Maskawaih (w. 1030 M), Abu al-'Ala al-Ma'arri
(973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa. Jasa
Bani Buwaih juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid,
beberapa rumah sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya. Kemajuan tersebut
diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi, pertanian, perdagangan, dan
industri, terutama permadani.
Kemunduran
Kekuatan
politik Bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah
generasi pertama, tiga bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian
di antara anak-anak mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan
pusat. Misalnya, pertikaian antara 'Izz al-Daulah Bakhtiar,
putera Mu'izz al-Daulah dan 'Adhad al-Daulah, putera Imad
al-Daulah, dalam perebutan
jabatan amir al-umara. Perebutan kekuasaan di kalangan keturunan Bani Buwaih
ini merupakan salah satu faktor internal yang membawa kemunduran dan kehancuran
pemerintahan mereka.
Faktor
internal lainnya adalah pertentangan dalam tubuh militer, antara golongan yang
berasal dari Dailam dengan keturunan Turki. Ketika Amir al-Umara
dijabat oleh Mu'izz al-Daulah persoalan
itu dapat diatasi, tetapi manakala jabatan itu diduduki oleh orang-orang yang
lemah, masalah tersebut muncul ke permukaan, mengganggu stabilitas dan
menjatuhkan wibawa pemerintah.
Sejalan
dengan makin melemahnya kekuatan politik Bani Buwaih, makin banyak pula
gangguan dari luar yang membawa kepada kemunduran dan kehancuran dinasti ini.
Faktor-faktor eksternal tersebut di antaranya adalah semakin gencarnya
serangan-serangan Bizantium ke dunia Islam, dan semakin
banyaknya dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad.
Daulah-daulah itu, antara lain dinasti Fathimiyah yang memproklamasikan dirinya sebagai pemegang jabatan
khalifah di Mesir, Ikhsyidiyah di Mesir dan Syria, Hamdan di Aleppo dan lembah Furat, Ghaznawi di Ghazna dekat kabul, dan akhirnya Dinasti Seljuk berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Buwaih.
DINASTI
BANI SELJUK
Seljuk (juga disebut Seljuq) atau Turki Seljuk
(dalam Bahasa Turki:Selçuklular;
dalam bahasa Persia: سلجوقيان Ṣaljūqīyān; dalam Bahasa
Arab سلجوق, Saljūq, atau السلاجقة al-Salājiqa) adalah sebuah dinasti Islam
yang pernah menguasai Asia Tengah dan Timur Tengah dari abad ke 11 hingga abad ke 14. Mereka mendirikan kekaisaran Islam yang dikenali
sebagai Kekaisaran Seljuk Agung. Kekaisaran ini terbentang dari Anatolia hingga ke Rantau Punjab di Asia Selatan. Kekaisaran
ini juga adalah sasaran utama Tentara Salib Pertama. Dinasti ini diasaskan oleh suku Oghuz Turki
yang berasal dari Asia Tengah. Dinasti Seljuk juga menandakan penguasaan Bangsa Turki di Timur Tengah. Pada
hari ini, mereka dianggap sebagai pengasas kebudayaan Turki Barat yang ketara di Azerbaijan, Turki
dan Turkmenistan dan
Seljuk juga dianggap sebagai penaung Kebudayaan Persia
Al-Hamdulillah!...
BalasHapus