Rabu, 01 Juni 2011

DINASTI ISLAM PADA MASA DAN SESUDAH DINASTI ABBASIYAH

Dinasti Fathimiyah
Dinasti Fatimiah merupakan sebuah dinasti yang didirikan di benua Afrika pada penghujung tahun 200 an Hijriah atau sekitar tahun 910 Masehi, dinasti ini berpahaman syiah, dari permulaan pembentukannya dinasti ini bertujuan untuk menjalankan ideologi syiah dan ingin melepaskan diri dari kekuasaan Daulah Abbasiah di Baghdad yang berideologi Sunnah.
Fatimiyah, atau al-Fāthimiyyūn (bahasa Arab الفاطميون) ialah penguasa Syiah yang berkuasa di berbagai wilayah di Maghreb, Mesir, dan Syam dari 5 Januari 910 hingga 1171. Negeri ini dikuasai oleh Ismailiyah, salah satu cabang Syi'ah. Pemimpinnya juga para imam Syiah, jadi mereka memiliki kepentingan keagamaan terhadap Isma'iliyyun. Kadang dinasti ini disebut pula dengan Bani Ubaidillah, sesuai dengan nama pendiri dinasti ini.
               Fatimiyah berasal dari sutu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia ("Ifriqiya") namun setelah penaklukan Mesir sekitar 971, ibukotanya dipindahkan ke Kairo.Pada masa itu, Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz. Di masa Fatimiyah, Mesir berkembang menjadi pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia, yang menentukan jalannya ekonomi Mesir selama Abad Pertengahan Akhir yang saat itu dialami Eropa.
Fatimiyah didirikan pada 909 oleh ˤAbdullāh al-Mahdī Billa, yang melegitimasi klaimnya melalui keturunan dari Nabi Muhammad dari jalur Fāthimah az-Zahra dan suaminya ˤAlī ibn-Abī-Tālib, {Imām Shīˤa pertama. Oleh karena itu negeri ini bernama al-Fātimiyyūn "Fatimiyah".Dengan cepat kendali Abdullāh al-Mahdi meluas ke seluruh Maghreb, wilayah yang kini adalah Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya, yang diperintahnya dari Mahdia, ibukota yang dibangun di Tunisia.
Para Imam Dinasti fathimiyah :
4.       Abū Tamīm Ma'add al-Mu'izz li-Dīn Allāh (953-975) Mesir ditaklukkan masa pemerintahannya
9.       Al-Musta'lī bi-llāh (1094-1101) pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
10.   al-Āmir bi-Akām Allāh (1101-1130) Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
12.   Al-āfir (1149-1154)
13.   Al-Fā'iz (1154-1160)
14.   Al-'Āid (1160-1171)
Fatimiyah memasuki Mesir pada 972, menaklukkan dinasti Ikhshidiyah dan mendirikan ibukota baru di al-Qāhirat "Sang Penunduk" (Kairo modern)- rujukan pada munculnya planet Mars. Mereka terus menaklukkan wilayah sekitarnya hingga mereka berkuasa dari Tunisia ke Suriah dan malahan menyeberang ke Sisilia dan Italia selatan.
Tak seperti pemerintahan di sama, kemajuan Fatimiyah dalam administrasi negara lebih berdasarkan pada kecakapan daripada keturunan. Anggota cabang lain dalam Islām, seperti Sunni, sepertinya diangkat ke kedudukan pemerintahan sebagaimana Syi'ah. Toleransi dikembangkan kepada non-Muslim seperti orang-orang Kristen dan Yahudi, yang mendapatkan kedudukan tinggi dalam pemerintahan dengan berdasarkan pada kemampuan (pengecualian pada sikap umum toleransi ini termasuk "Mad Caliph" Al-Hakim bi-Amrillah).
Kondisi politik dunia Islam ketika Dinasti Fatimiah didirikan agak sedikit tidak terkendali, hal ini bisa di lihat dengan munculnya banyak dinasti-dinasti kecil di berbagai belahan dunia baik di timur dan barat Baghdad.
Di barat Baghdad ada, Dinasti Idrisi di Maroko (172-375 H / 788 M-985 M), Dinasti Aghlabi (184 H-296 H / 800 M-908 M), Dinasti Thulun di Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M), Dinasti Ikhsyidi (323 H- 357 H / 934 M-967 M), Dinasti Hamdaniah (317 H – 399 H / 929 M – 1009 M).
Di timur Baghdad diantaranya: Dinasti Tahiri (200 H-259 H / 820 M-872 M), Dinasti Safari (254 H-289 H / 867 M-903 M), Dinasti Samani (261 H-389 H / 874 M-999 M), dan Dinasti Ghazwani.
Pada 1040-an, Ziriyah (gubernur Afrika Utara di masa Fatimiyah) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Fatimiyah dan berpindahnya mereka ke Islām Sunnī, yang menimbulkan serangan Banū Hilal yang menghancurkan. Setelah 1070, Fatimiyah mengendalikan pesisir Syam dan bagian Suriah terkena serangan bangsa Turki, kemudian Pasukan Salib, sehingga wilayah Fatimiyah menyempit sampai hanya meliputi Mesir.
Setelah terjadi pembusukan sistem politik Fatimiyah pada 1160-an, penguasa Zengid Nūr ad-Dīn memerintahkan jenderalnya, Salahuddin Ayyubi, menaklukkan Mesir pada 1169, membentuk Dinasti Ayyubi Sunni

DINASTI AYYUBIYAH
Ayubiyyah atau Dinasti Ayubiyyah adalah dinasti Muslim dari bangsa Kurdi[1] yang menguasai Mesir, Suriah, Yaman (kecuali Pegunungan Utara), Diyar Bakr, Makkah, Hijaz dan Irak utara pada abad ke-12 dan 13. Ayubiyyah juga dikenali sebagai Ayyubid, Ayoubites, Ayyoubites, Ayoubides atau Ayyoubides.
Dinasti Ayubiyyah didirikan oleh Salahuddin Al-Ayubbi yang bersama Shirkuh menaklukan Mesir untuk Raja Zengiyyah Nuruddin dari Damaskus pada 1169. Nama ini berasal dari ayah Salahuddin, Najm ad-Din Ayyub. Pada tahun 1171, Salahuddin menggulingkan Khalifah Fatimiyyah terakhir.
Ketika Nur ad-Din meninggal pada 1174, Salahuddin menyatakan perang terhadap anak lelaki muda Nuruddin, As-Salih Ismail, dan menguasai Damaskus. Ismail melarikan diri ke Aleppo, dimana ia terus berjuang melawan Salahuddin hingga terbunuh pada 1181. Setelah itu, Salahuddin mengambil alih kawasan pedalaman hingga seluruh Suriah, dan menakluki Jazirah di Irak Utara. Pencapaian terbesarnya adalah mengalahkan tentara salib dalam Pertempuran Hattin dan penaklukan Baitulmuqaddis pada 1187. Salahuddin meninggal pada 1193 setelah menandatangani perjanjian dengan Richard I dari Inggris yang memberi kawasan pesisir dari Ashkelon hingga Antiokhia kepada tentara salib.
Setelah kematian Salahuddin, anak lelakinya berebut pembagian kekaisaran, hingga pada 1200 adik Salahuddin, Al-Adil, berhasilmengambil alih atas seluruh kekaisaran. Proses yang sama terjadi pada kematian Al-Adil pada 1218, dan pada anak lelakinya Al-Kamil yang meninggal pada 1238, tetapi Ayubiyyah tetap kuat. Pada 1250 Turanshah, Sultan Mesir Ayubiyyah terakhir, telah dibunuh dan digantikkan oleh jenderal-budak Mamluknya Aibek, yang mendirikan Dinasti Bahri.
Ayyubiyyah terus menguasai Damaskus dan Aleppo hingga tahun 1260 ketika mereka dikuasai oleh Mongol dan setelah kekalahan mongol di Ain Jalut, seluruh Suriah jatuh ke Mamluk.

DINASTI BUWAIHIYAH
Dinasti Buwayhiyah dirujuk kepada keturunan Abu Syuja' Buwaih dari daerah Dailam atau disebut juga dengan Bani Buwaih, dimana keturunannya mampu mengendalikan kekuasaan dan sangat berpengaruh pada suatu masa dalam rentang kekuasaan Khilafah Abbasiyah di Bagdad yaitu pada tahun 934–1055 M.

Latar Belakang

Berawal dari tiga orang putera Abu Syuja' Buwaih, seorang pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk keluar dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinas militer yang ketika itu dipandang banyak mendatangkan rezeki.
Pada mulanya mereka bergabung dengan pasukan Makan Ibn Kali, salah seorang panglima perang Khilafah Abbasiyah dari Dailam. Setelah pamor Makan Ibn Kali memudar, mereka kemudian bergabung dengan panglima Mardawij Ibn Zayyar al-Dailamy. Karena prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur al-Karaj, dan dua saudaranya diberi kedudukan penting lainnya. Dari al-Karaj itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaih bermula.
Pertama-tama Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal, Bani Buwaih yang bermarkas di Syiraz itu berhasil menaklukkan beberapa daerah lain seperti Rayy, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah Abbasiyah, al-Radhi Billah dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith.

Perebutan Kekuasaan

Ketika pusat pemerintahan di Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat perebutan jabatan Amir al-Umara antara wazir dan pemimpin militer. Para pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad Ibn Buwaih yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan itu dikabulkan. Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada tanggal Jumadil-ula 334 H/945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan langsung diangkat menjadi Amirul-Umara, penguasa politik negara, dengan gelar Mu'izz al-Daulah. Saudaranya, Ali Ibn Buwaih, yang memerintah di bagian selatan Persia dengan pusatnya di Syiraz diberikan gelar Imad al-Daulah, dan Hasan Ibn Buwaih yang memerintah di bagian utara, Isfahan dan Rayy, dianugerahi gelar Rukn al-Daulah.
Sejak itu, sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki sebelumnya, para khalifah tunduk kepada Bani Buwaih. Pada masa pemerintahan Bani Buwaih ini, para khalifah Abbasiyah benar-benar tinggal namanya saja. Pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan amir-amir Bani Buwaih. Keadaan khalifah lebih buruk daripada masa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi'ah, sementara Bani Abbas adalah Sunni. Selama masa kekuasaan Bani Buwaih sering terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlussunnah dan Syi'ah, pemberontakan tentara, dan sebagainya.
Setelah Baghdad dikuasai, Bani Buwaih memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah kota dengan nama Dar al-Mamlakah. Meskipun demikian, kendali politik yang sebenarnya masih berada di Syiraz, tempat Ali Ibn Buwaih (saudara tertua) bertahta. Dengan kekuatan militer Bani Buwaih, beberapa dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan diri dari Baghdad, seperti Bani Hamdan di wilayah Syria dan Irak, Dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah, dapat dikendalikan kembali dari Baghdad.
Sebagaimana para khalifah Abbasiyah periode pertama, para penguasa dari Bani Buwaih mencurahkan perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa Bani Buwaih ini banyak bermunculan ilmuwan besar, di antaranya al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), al-Farghani, Abdurrahman al-Shufi (w. 986 M), Ibn Maskawaih (w. 1030 M), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa. Jasa Bani Buwaih juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid, beberapa rumah sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya. Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi, pertanian, perdagangan, dan industri, terutama permadani.

Kemunduran

Kekuatan politik Bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah generasi pertama, tiga bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian di antara anak-anak mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat. Misalnya, pertikaian antara 'Izz al-Daulah Bakhtiar, putera Mu'izz al-Daulah dan 'Adhad al-Daulah, putera Imad al-Daulah, dalam perebutan jabatan amir al-umara. Perebutan kekuasaan di kalangan keturunan Bani Buwaih ini merupakan salah satu faktor internal yang membawa kemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka.
Faktor internal lainnya adalah pertentangan dalam tubuh militer, antara golongan yang berasal dari Dailam dengan keturunan Turki. Ketika Amir al-Umara dijabat oleh Mu'izz al-Daulah persoalan itu dapat diatasi, tetapi manakala jabatan itu diduduki oleh orang-orang yang lemah, masalah tersebut muncul ke permukaan, mengganggu stabilitas dan menjatuhkan wibawa pemerintah.
Sejalan dengan makin melemahnya kekuatan politik Bani Buwaih, makin banyak pula gangguan dari luar yang membawa kepada kemunduran dan kehancuran dinasti ini. Faktor-faktor eksternal tersebut di antaranya adalah semakin gencarnya serangan-serangan Bizantium ke dunia Islam, dan semakin banyaknya dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad. Daulah-daulah itu, antara lain dinasti Fathimiyah yang memproklamasikan dirinya sebagai pemegang jabatan khalifah di Mesir, Ikhsyidiyah di Mesir dan Syria, Hamdan di Aleppo dan lembah Furat, Ghaznawi di Ghazna dekat kabul, dan akhirnya Dinasti Seljuk berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Buwaih.
DINASTI BANI SELJUK
Seljuk (juga disebut Seljuq) atau Turki Seljuk (dalam Bahasa Turki:Selçuklular; dalam bahasa Persia: سلجوقيان aljūqīyān; dalam Bahasa Arab سلجوق, Saljūq, atau السلاجقة al-Salājiqa) adalah sebuah dinasti Islam yang pernah menguasai Asia Tengah dan Timur Tengah dari abad ke 11 hingga abad ke 14. Mereka mendirikan kekaisaran Islam yang dikenali sebagai Kekaisaran Seljuk Agung. Kekaisaran ini terbentang dari Anatolia hingga ke Rantau Punjab di Asia Selatan. Kekaisaran ini juga adalah sasaran utama Tentara Salib Pertama. Dinasti ini diasaskan oleh suku Oghuz Turki yang berasal dari Asia Tengah. Dinasti Seljuk juga menandakan penguasaan Bangsa Turki di Timur Tengah. Pada hari ini, mereka dianggap sebagai pengasas kebudayaan Turki Barat yang ketara di Azerbaijan, Turki dan Turkmenistan dan Seljuk juga dianggap sebagai penaung Kebudayaan Persia

1 komentar:

Komentar